Kebijakan Larangan Study Tour, Semakin Meluas

62
0
BERBAGI

Sentralpost.co – Fenomena apa sebenarnya yang sedang terjadi perseteruan antara Kepala Daerah di Provinsi Jawa Barat. Sebagaimana sudah diketahui oleh umum bahwa Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi telah mengeluarkan surat edaran tentang larangan diadakan kegiatan Study Tour bagi sekolah sekolah yang berada di provinsi Jawa Barat tersebut.

Dengan argumentasi bahwa kegiatan study tour yang dilakukan oleh sekolah sekolah baik negeri ataupun swasta di rasakan sangat memberatkan ekonomi orang tua (terutama bagi yang kurang mampu) serta kegiatan tersebut tidak ada korelasi dengan pendidikan karakter.

Namun, kebijakan publik tersebut tidak mulus jalan nya, karena setidaknya telah mendapat reaksi berupa demonstrasi dari sopir dan pelaku usaha bis pariwisata yang menurut mereka, berdampak pada penurunan pendapatan hingga lima puluh persen.

Kalau yang memproses adalah masyarakat umum , itu sudah biasa terjadi disetiap kebijakan apalagi yang dirasakan dampak negatif nya.

Tapi sekali ini sangat menarik yaitu protes dari sesama kepala daerah kabupaten dan kota di Jawa Barat.

Yaitu datangnya reaksi menolak kebijakan gubernur Jabar adalah berjumpa 6 kepala daerah yaitu;

1, Walikota Bandung;

2, Walikota Bekasi:

3, Walikota Cirebon:

4, Bupati Kerawang;

5, Bupati Sumedang

6, Bupati Bandung.

Bahwa mereka membolehkan melakukan kegiatan study tour, yang bertentangan dengan larangan gubernur Jawa Barat.

Peristiwa ini sebenarnya ya sah sah saja secara hukum normatif tidak ada larangan. Karena hal hal seperti itu sering juga terjadi di Nusantara yaitu tidak adanya atau sering terjadi ketidak harmonisan antara gubernur sebagai kepala daerah provinsi dengan para bupati walikota sebagai Kepala Daerah kabupaten dan kota.

Ini dampak dari sistem pemerintahan yang diatur dalam Pasal 18 UUD NRI tahun 1945 beserta turunan nya setelah era reformasi.

Di mana gubernur dan bupati walikota adalah sebagai kepala daerah yang memiliki hak otonomi daerah sehingga mereka leluasa sebagai kepala daerah yang memegang otonomi daerah yang seluas luasnya untuk membuat kebijakan kebijakan di wilayah kekuasaannya.

Yang membedakan hanya bahwa Gubernur sebagai Kepala Daerah juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dan ini tidak dipunyai oleh bupati dan walikota.

Sehingga akan terjadi disharmoni sebagaimana contoh di Jawa Barat tersebut.

Sebagai kepala daerah ( gubernur dan bupati walikota), merasa memiliki kewenangan sebagai pemegang otonomi daerah disebabkan mereka dipilih oleh rakyat langsung ( Pilkada), berbeda situasi nya di jaman orde baru maupun orde sebelum.

Hal ini dampak dari orde reformasi.

Tentu kejadian kejadian ini untuk masa mendatang harus dicarikan jalan keluarnya antara lain: untuk gubernur dia bukan lagi sebagai kepala daerah. Tapi semata mata sebagai pejabat pusat di daerah yg memiliki kekuasaan administratif saja. Sehingga tidak perlu dilakukan pilkada kepala daerah provinsi. Dan otomatis Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga tidak diperlukan lagi.

Sehingga otonomi daerah yang seluas luasnya ada di tingkat kabupaten dan kota.

Namun pengangkatan dan pelantikan tersebut haruhs dilakukan secara dengan ikut serta pejabat pusat di daerah yaitu Gubernur.

Sehingga Gubernur mempunyai wibawa di mata bupati dan walikota.

Hal Ikhwal ketidak harmonisan dari kedua kepala daerah ( gubernur – bupati/walikota), sudah sejak awal reformasi birokrasi dengan sistem pemerintahan yang berlaku sekarang.

Kadang kadang pengalaman cerita cerita yang bisa diikuti di media. Antara lain undangan dari gubernur kepada bupati dan walikota sering terjadi ketidak hadirannya nya. Maksimal hanya diikuti oleh bawahan bupati walikota.

Fenomena fenomena seperti ini telah dirasakan cukup lama, apakah hal hal seperti ini akan berlanjut, itu kembali kepada lembaga yang berkompeten yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Pemerintah untuk mengevaluasi kembali aturan aturan tentang sistem memerintahkan yang sesuai dengan semangat Pancasila menuju masyarakat adil makmur serta makmur dalam berkeadilan.

Belum lagi dampak tidak langsung dari perbedaan politik masing masing yang berbeda beda karena berasal atau diusung oleh partai politik yang berbeda. Sehingga terjadi egois kepartaian.

Oleh : H. Albar Sentosa Subari ( Ketua Peduli Marga Batang Hari Sembilan ) dan Marshal ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here